Sabtu, 30 Oktober 2010

Memuja Tuhan Melalui Pendekatan Pertapaan Para Raja Bali Yang Dicandikan, Diyakini Sebagai Titisan Dewa

Info :
Candi bekas pertapaan raja Sri Jaya Pangus, sekarang disebut Pura Pengukur-ukuran, desa SAWA, Tampaksiring


Disamping ‘dewa’ alam sekitar yang dipuja dalam proses pendekatan terhadap Tuhan, juga bekas tempat pertapaan raja-raja Bali setelah akhir masa pemerintahanya melakukan kehidupan wanaprasta dan dicandikan disuatu tempat, yang sangat disucikan oleh umat Hindu sekitarnya. Pada zaman dahulu seorang raja diyakini sebagai titisan dewa, atau dengan perkataan lain memuja Tuhan melalui awataranya seorang raja. Rakyat meyakini seorang raja akan meniru sebagian kebajikan sifat dewa-dewa. Disamping vibrasi/spirit dari para raja yang masih terasa disaat upacara keagamaan melalui kerauhan tetua warga, dalam penyampaian pesan dan kesan dari roh raja yang merintis jejak awal keberadaan suatu tempat suci tersebut.
            Dalam kitab Manawa Dharmasastra, simbolisasi sifat yang harus dimiliki oleh seorang raja dikenal dengan astabrata ialah suatu konsep dewaraja yang menghendaki agar seorang raja atau kepala pemerintahan dituntut untuk memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari pada: Indra (dewa perang), Vayu (dewa angin), Yama (dewa maut), Surya (dewa matahari), Agni (dewa api), Waruna (dewa Air), Candra (dewa bulan), dan Kubera (dewa harta). Sebagai Indra atau dewa perang, seorang raja hendaknya menjadi tauladan dan pedoman bagi anggota masyarakat, ia harus pemberani dan selalu dapat mengatasi persoalan secara tegas berdasarkan sinar ajaran dharma. Vayu atau dewa angin, seorang raja mempunyai sifat yang tidak disangka-sangka, artinya tahu kehendak rakyat tanpa diberi tahu dan juga dapat menenangkan suasana, mendinginkan hati bila terjadi ketegangan. Sebagai Yama, raja sebagai pemimpin Negara dan pemerintahan hendaknya berlapang dada, bersikap toleran terhadap pendirian orang lain dan disegani oleh lawan. Sebagai Surya, yang menghidupi alam, melenyapkan segala kegelapan dan kebodohan serta memberi kekuatan dan perhatian secara terus menerus. Sebagai Agni/Teja, laksana api membakar lawan dan dosa, seorang raja jangan pandang bulu untuk melenyapkan penyelewengan adharma. Partikel dewa Varuna/Wisnu, seorang raja hendaknya bersifat bagaikan air, karena wujudnya dapat menguasai Triloka. Sebagai air, ia berada di udara, darat dan laut, raja sebagai pemimpin hendaknya bersifat Tut Wuri Handayani. Candra (dewa bulan), bulan sebagai sumber pujaan menghendaki agar seorang pemimpin bersikap simpatik, pandai menggunakan senyum, selalu berkata yang benar dalam rangka pembinaan mental spiritual. Sifat partikel Kubera, yaitu bersifat dermawan, selalu bermurah hati kepada siapa saja yang rajin serta tekun melakukan tugas swadharmanya (Tim, 1986 : 45).
           Sistem pemerintahan pada masa Bali Kuno, maupun pada masa Bali Pertengahan, seorang raja memiliki kekuasaan mutlak dan tidak terbatas, yang semula bersifat demokratis paternalistis, menjadi otokratis, menjamin tegaknya otoritas seseorang untuk menjadi penguasa turun temurun. Pada masa itu hanya kaum Brahmana dan kaum Ksatria yang berhak mempelajari isi dari kitab suci Weda, sedangkan rakyat jelata yang tidak termasuk dalam “keluarga berkasta” atau “berkasta tinggi” diperlakukan kurang adil, segala miliknya, yaitu pribadi, anak-anaknya, jiwa dan tenaganya, adalah milik raja. Begitu lahir, mereka sudah langsung menyandang nasibnya sebagai “sudra” orang yang berkasta rendah. Dalam kitab suci Bhagavadgita IV.13 secara tegas menyebutkan sebagai berikut:

Catur varnyam maya sristam
guna karma vibhagasah
tasya kartaram api mamm
Viddhy akartaram avyayam.

Artinya:
Catur warna Aku ciptakan, menurut pembagian guna dan karma (sifat dan pekerjaan), Tetapi ketahuilah, meskipun Aku penciptanya, Aku mengatasi gerak dan perobahan.

           Dengan demikian pembagian warna sesungguhnya ditentukan oleh sifat (bakat) dan pekerjaan seseorang, bukan oleh kelahirannya seperti dalam sistem Kasta. Mengambil analogi dengan mitos kelahiran warna tersebut, dapat pula dikatakan setiap orang adalah Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Hanya gradasi pekerjaannya kemudian yang membedakan dia lebih disebut sebagai Brahmana (kaum ulama), Ksatria (pertahanan dan pemerintahan), Waisya (petani dan pedagang), atau Sudra (pelayan dan buruh). Catur warna dalam kitab-kitab sejarah sering dicampur-adukkan dengan pengertian kasta. Ketaatan warna sudra dengan warna Brahmana, misalnya, seolah-olah terjadi karena perbedaan kelas, bukan dilihat dari fungsi sosialnya di masyarakat Hindu (Ketut Wiana, dkk. 1993).
           Setelah Kerajaan Badhahulu dengan rajanya yang bergelar Sri Astasura Ratna Bumi Banten, dikalahkan pada tahun 1343 M oleh kerajaan Majapahit, dan tapuk pemerintahan di Bali setelah itu dipimpin raja Sri Kresna Kepakisan bersama para Arya Majapahit, semenjak itulah sistem warna perlahan-lahan berubah menjadi sistem wangsa-wangsa yang secara umum dapat disebut sebagai sistem kasta khas Bali, kemudian dikelompokkan sebagai Ksatria dan Wesya dalam sistem kasta, sedangkan Danghyang Nirartha, kemudian bergelar Pedanda Sakti Wawu Rauh yang datang ke Bali tahun 1550 di zaman pemerintahan Raja Dalem Batur Enggong dan Danghyang Astapaka, menurunkan wangsa Brahmana, yang kemudian juga dikelompokkan ke dalam kasta Brahmana. Sementara keturunan raja-raja Bali Kuno dan kesatria Bali Aga atau Bali Mula yang dikalahkan, nyaris tidak berhak menyandang ke tiga kasta tersebut, kecuali mereka yang diperlukan wibawanya dalam menjaga stabilitas pemerintahan yang baru, disebut arya, sedangkan yang lain dikelompokkan sebagai sudra yang kemudian menyebut diri sebagai “jaba” (luar), yang berarti diluar kasta Brahmana, Ksatria, dan Wesya. Apalagi pengelompokkan wangsa-wangsa di Bali dikukuhkan lagi dengan hukum adat, yang memberikan hak-hak istimewa kepada wangsa yang lebih tinggi. Dengan adanya hak-hak istimewa itu, yang melekat secara turun temurun, semakin kuatlah anggapan masyarakat bahwa wangsa itu sesungguhnya sama dengan kasta.
           Sebelumnya sebutan seorang raja memakai gelar nama-nama dewa dan setelah Bali ditaklukkan, nama-nama dewa diganti menjadi nama-nama wangsa/keturunan. Begitu pula dengan keyakinan umat, yang pada awalnya bekas peninggalan para resi dan para raja yang dicandikan serta prasasti-prasasti yang dihasilkan diyakini sebagai tempat penghayatan terhadap Tuhan.
           Candi-candi dibangun untuk menghormati arwah para raja, istri dan anak-anaknya yang sudah meninggal, yang diyakini sudah menyatu dengan dewata yang menitis pada beliau, misalnya untuk menghormati arwah raja Sri Ugrasena Warmmadewa dicandikan di Ermadatu, Raja Sri Dharmodayana Warmadewa dicandikan Banyu Wka. Raja Sri Marakata dicandikan di Camara. Sri Aji Hungsu dicandikan di Jalu (Gunung Kawi), Tampaksiring. Istri raja Sri Aji Hungsu yang disebut Bhatari Mandul dicandikan di Gunung Penulisan. Sri Mahendradatta Gunapriyadharmapatni, permaisuri Sri Dharmodayana dicandikan di Pura Durga Kutri, Buruan, Blahbatuh. Raja Sri Jaya Pangus dicandikan di pertapaan Dharma Anyar, sekarang disebut Pura Pengukur-ukuran, di Desa Sawah Gunung, Pejeng, Gianyar.
           Dan Pura Sarin Bwana adalah bekas pertapaan Sri Batu Putih (Dalem Putih) saudara kandung Sri Batu Ireng (Dalem Selem, Sri Astasura Ratna Bumi Banten, Sri Tapa Hulung) yang terletak di Desa Adat Jimbaran, Kuta Selatan, Badung. Disamping itu, sumber-sumber prasasti sering menyebut nama-nama tempat suci tetapi belum jelas siapa yang dimakamkan atau dicandikan disana, seperti sang lumah ri Bwah rangga, ri Banu Palasa, ri Candri Manik, I Air Talaga, sang lumah ing Guha.        
           Sedangkan Pura Lempuyang yang terletak di Desa Adat Gamongan, Tiyingtali, Karangasem, sekarang umumnya disebut Pura Lempuyang Madya adalah bekas tempat pertapaan raja Sri Jaya Sakti, menjadi raja Bali tahun Caka 1055/1133 Masehi, setelah akhir masa pemerintahan, melakukan wanaprasta atau mendirikan pedharman (tempat suci) di Gunung Lempuyang sesuai tertulis dalam Prasasti Pura Puseh Sading, Kapal, Badung, dan didukung oleh salinan Lontar Piagem Dukuh Gamongan, milik Ida Padanda Gede Jelantik Sugata dari Griya Tegeh Budakeling, Karangasem, alih aksara oleh I Wayan Gede Bargawa, dan beberapa lontar lain milik Desa Adat Gamongan, menjelaskan:
Pada tahun Caka 1072/1150 Masehi, bulan Hindu ke sembilan, pada tanggal duabelas bulan paro terang, wuku julungpujut, pada hari itulah saatnya Sri Paduka Sri Maharaja Jayasakti, menyidangkan para senapati, terutama para rakyan Mahapatih dan para Tandra Mantri di balai istana raja untuk memperbincangkan hasrat baginda Sri Maharaja Jayasakti bersama permaisurinda, hendak beranjangsana ke desa-desa di Bali yang ada di Gunung Karang, adapun minat baginda datang kesana, oleh karena melaksanakan tugas perintah dari ayahanda yaitu Sanghyang Guru, yang hendaknya supaya mendirikan Tempat Suci (Pedharman) di Gunung Lempuyang.

           Pertapaan dilanjutkan oleh anaknya yang pertama yaitu Sri Gnijaya, menjadi raja di Bali tahun 1150-1155 dan dilanjutkan oleh adiknya Sri Gnijaya yaitu Sri Maha Sidhimantra Dewa dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Maha Sidhimantra Dewa yaitu Sri Indra Cakru, menjadi raja Bali tahun 1250 dan dilanjutkan oleh anaknya Sri Indra Cakru yaitu Sri Pasung Grigis, karena beliau tidak menikah (nyukla brahmacari) dan tidak mempunyai keturunan, lalu diangkatlah keponakan beliau yaitu Sri Rigis (anak Sri Jaya Katong) untuk ngamong (bertanggung jawab) di desa Gamongan, Gunung Lempuyang, selanjutnya diganti oleh anaknya Sri Rigis yaitu Sri Pasung Giri dilanjutkan oleh anaknya Sri pasung Giri yaitu Dukuh Sakti Gamongan dan keturunannya (bagan silsilah Sri Karang Buncing halaman belakang).
           Candi-candi bekas peninggalan para raja Bali, pada perkembangan selanjutnya beralih fungsi menjadi sebuah pura yang menjadi sungsungan umat Hindu di Bali, karena kontelasi politik pemerintahan pada masa lalu, sehingga Pura Lempuyang yang dulunya di mong oleh warga Desa Adat Gamongan dan di mpon oleh desa adat yang ada di luar Desa Adat Gamongan. Sejak tanggal 11 April 2003 bahwa Pura Lempuyang Madya menjadi tanggung jawab warga Pasek, Kecamatan Abang. Padahal secara administratif Pura Lempuyang terletak di wilayah Desa Adat Gamongan, Desa Tiyingtali, Kecamatan Abang, Karangasem.
           Dalam data sejarah terdapat beberapa interpretasi yang berbeda mengenai pendiri awal Pura Lempuyang Madya, antara Mpu Gnijaya dengan Sri Gnijaya. Mpu Gnijaya adalah seorang rohaniawan dari Jawa, tiba di Bali tahun 1049 Masehi, sedangkan Sri Gnijaya adalah seorang raja Bali tahun 1150 Masehi. Karena sama-sama menyandang nama Gnijaya, akhirnya ke duanya mengklaim sebagai pendiri Pura Lempuyang Madya. Disamping argumentasi lain yang bertentangan antara Mpu Kuturan dengan Senapati Kuturan. Menurut Babad, Mpu Kuturan adik kandung Mpu Gnijaya tiba di Bali zaman pemerintahan Sri Udayana tahun Isaka 923/1001 Masehi dan beliau datang lebih awal dengan kakaknya Mpu Gnijaya tahun Isaka 971/1049 Masehi. Jadi tenggang waktu 48 tahun Mpu Gnijaya baru tiba di Bali? Mpu Kuturan adalah seorang brahmana berasal dari Jawa, sedangkan Senapati Kuturan adalah jabatan mahapatih kerajaan Bali Kuno yang bertanggung jawab di wilayah Kuturan, bukan nama yang menjabat, misalnya, sang senapati kuturan mpu wahita artinya sang mahapatih di wilayah kuturan yang terhormat bernama wahita. Terdapat beberapa jabatan senapati (mahapatih, punggawa) yang dikenal pada masa pemerintahan Bali Kuno antara lain: Senapati Kuturan, Senapati Balembunut, Senapati Dinganga, Senapati Denda, Senapati Sarbwa, Senapati Waransi, Senapati Mahiringin, Senapati Wrasanten. Kuturan adalah nama wilayah/daerah sudah tentu nama pejabatnya pun berbeda-beda sesuai zamannya. Analog dari Senapati Kuturan identik dengan Bupati Badung yang berlainan nama pejabatnya dalam sistem pemerintahan Bali sekarang.
           Di zaman pemerintahan raja-raja Bali-Kuno terdapat 18 Senapati Kuturan dengan berlainan nama pejabat, mulai zaman pemerintahan raja Sri Udayana tahun Isaka 915/993 Masehi (Prasasti Serai) sampai zaman pemerintahan raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten tahun Isaka 1259/1337 Masehi (Prasasti Langgahan). Jadi selama 344 tahun istilah jabatan Senapati Kuturan masih dipergunakan dalam sistem pemerintahan raja-raja Bali Kuno dengan berbagai nama yang menjabat. Beberapa perbedaan versi ini akan disajikan pada halaman lain dalam tulisan ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More