Sabtu, 30 Oktober 2010

PURA LEMPUYANG GAMONGAN, SEJARAH-MU KINI

Pura Lempuyang Gamongan, Sejarahmu Kini

          Di Bali, banyak pura tidak jelas status dan fungsi pura tersebut sebagai pura apa? Apakah Pura Swagina, Pura Kahyangan Jagat, Pura Kahyangan Tiga, Pura Kawitan, Pura Dadia atau Pura Panti atau Pura bekas tempat pertapaan dari para leluhur terdahulu, atau Pura tempat abu para raja yang dicandikan atau munculnya Pura itu atas kehendak dari segelintir orang atau Pura napak tilas para leluhur yang pernah datang ke tempat itu atau berdirinya pura bersumber dari kerauhan, atau berdirinya pura karena pawisik dan siapa yang membisiki. Tiba-tiba saja, yang dulunya hanya sebuah pohon dan didandani kain poleng, lalu dibuatkan sebuah palinggih berkembang menjadi pura dengan tri mandalanya yang sangat megah sekali, atau yang awalnya dari Kahyangan Desa berubah status dan fungsinya menjadi Kahyangan Jagat. Tetapi tak jelas siapa yang dimuliakan di pura itu, bagaimana awal mula berdirinya pura itu, siapa pengemong dan pengemponya, bagaimana kita mengetahui bahwa dewa/bhatara merestui tempat suci yang kita bangun itu, dan bagaimana status pura itu untuk selanjutnya.

           Selama ini berdirinya suatu pura umumnya memiliki prasasti dan purana yang sangat jelas dan di stanakan di pura setempat atau prasasti yang ada di lain tempat menjelaskan tentang keberadaan pura tersebut. Prasasti adalah ketetapan resmi terbuat dari tembaga yang dikeluarkan oleh raja yang berkuasa saat itu dan disaksikan oleh jabatan bawahannya, juga nama tetua desa tercantum di dalamnya. Sebelum prasasti itu disosialisasikan ke masyarakat, prasasti itu di-pasupati terlebih dahulu, memohon spirit/roh kekuatan alam yang ada disekitarnya untuk menyatu dengan benda (prasasti) yang akan disucikan. Acara pasupati ini dilakukan kehadapan ida bhatara/dewa yang berstana di suatu tempat, misalnya: tempat suci yang ada di daerah danau disebut Hyang Danawa (dewa danau), Hyang Gunung (dewa gunung), Hyang Api (dewa api), Punta Hyang (dewa resi) dan sebagainya sesuai manifestasi Tuhan yang dipuja di tempat itu. Dalam prasasti berisi kutukan dan sumpah bagi masyarakat yang tidak mengindahkannya yang dimohonkan kutukan datangnya dari segala arah. Dan kutukan ini lah yang sangat ditakuti oleh masyarakat sekitarnya.

           Perkembangan selanjutnya, untuk mengenang kisah peristiwa para raja, istri, anaknya selama memerintah terdahulu dan dikaitkan mithos para dewa yang berstana di gunung sekitarnya oleh pemerintahan selanjutnya, termasuk para leluhur warga yang ikut merintis pura itu, maka menjadi sebuah catatan tertulis yang disebut purana yang terbuat dari daun lontar dan tentunya di stanakan di pura. Purana sebagai simbol kebersamaan dan pedoman bagi para pangamong dan pangempon pura di dalam menjalani kelanjutan dari perkembangan pura tersebut.

           Pada zaman Bali pertengahan pura pura Jagat umumnya memiliki Raja Purana yang menjadi pedoman umatnya. Dari purana turunannya menjadi babad, jejak yang sesungguhnya dikait-kaitkan satu dengan yang lain, dirunut berdasarkan potongan-potongan ingatan, disampaikan dari mulut ke mulut, bisa saja muncul pendapat lain sehingga terjadi silang sengketa, nama sama belum tentu orangnya sama, akhirnya terjadi saling klaim.

           Mengutip Pura dan Purana dalam majalah Hindu Raditya, edisi Juni 2010 oleh Budi Adnyana menjelaskan dalam setiap Purana unsur sargah, pratisarga, wamsa, wamsanucarita, manvantara, adalah sangat jelas. Sargah adalah penciptaan, dalam konteks ini bukan hanya penciptaan dunia ini, namun juga cikal bakal berdirinya pura tersebut. Pratisarga akan menuntun kita pada kelanjutan pura ini setelah ada, sebagai kahyangan apa. Setelah itu diikuti Wamsa dari garis keturunan siapa dan pendeta siapa, danghyang siapa yang menjadi pemrakarsa. Kemudian Wamsanucarita, kelak pura ini disungsung oleh keturunan siapa atau garis keturunan yang mana. Yang terakhir adalah Manvantara atau periode waktu, siapa yang di puja serta upakara dan hari piodalan pura tersebut. Dimana catatan ini akan menjadi acuan dan pedoman bagi para penyungsungnya untuk selanjutnya. Mengacu dari uraian tersebut, Pura Lempuyang Gamongan rasanya telah memenuhi seluruh persyaratan tersebut diatas.

           Karena perkembangan konstelasi politik pemerintahan yang berkuasa pada masa kini, yang dulunya Pura Lempuyang di-mong oleh Desa Adat Gamongan, dan di-mpon oleh desa-desa diluar lingkungan Desa Adat Gamongan, sejak tanggal 11 April 2003 diambil alih dengan prosesi nedunang, nuhur prasasti dan pretima, dalam rangka Aci purnamaning ke dasa tanggal 16 April 2003 di Pura Lempuyang Madya, dijaga satu peleton Pasukan Dalmas Polres Karangasem, penjagaan itu karena belum ada kesepakatan menyangkut status dan pelaksanaan Aci di pura itu antara MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi) dengan pangemong pihak Desa Adat Gamongan. (Bali Post 12 April 2003).

           Menurut penglingsir Desa Adat Gamongan, Jro Mangku Komang Putra mengatakan permasalahan ini mulai muncul setelah pihak Warga Pasek Kecamatan Abang, mengklaim bahwa Pura Lempuyang Madya dinyatakan Linggih Bhatara Mpu Gnijaya sebagai Kawitan Warga Pasek, sehingga muncul Keputusan Maha Saba IV MGPSSR di Besakih tanggal 29 Juli 1989, Nomor: VII/MS/IV/MGPSSR/1989 tentang Program Kerja tahun 1989-1994, dengan berlanjut Keputusan Pengurus Pusat MGPSSR tanggal 25 Nopember 1989 Nomor: 19/PP/MGPSSR/1989, tentang Pembentukan Panitia Pemugaran Pura Lempuyang Madya di Kabupaten Karangasem. Dan implementasi dari surat keputusan tersebut, sehingga terjadi pemugaran secara sepihak oleh warga yang mengatasnamakan warga Pasek Kecamatan Abang. Karena belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak sehingga terjadi perselisihan dan dimediasi oleh aparat setempat, sehingga muncul Surat Pernyataan Kesepakatan pada tanggal 29 Maret 2000.

           Sedangkan warga Desa Adat Gamongan menyatakan saat kini bahwa Pura Lempuyang Madya yang berstana Ida Bhatara Hyang Gnijaya adalah bekas pertapaan Sri Gnijaya Sakti, menjadi raja Bali tahun 1119 Masehi, setelah habis masa memerintah melakukan wanaprasta menjalani hidup suci, akhirnya beliau sampai di Gunung Lempuyang, sesuai dengan catatan tertulis yang ada diatas. Tidak tertulis adanya Pura Lempuyang Dasar, Lempuyang Madya, Lempuyang Luhur, serta Pura Lempuyang lainnya. Disamping itu Jro Mangku Komang Putra merasa heran, “Kenapa baru menemukan Kawitan, sebelumnya dimanakah Kawitan MGPSSR (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi)” dengan penuh nada heran.

           Warga Desa Adat Gamongan belakangan ini melakukan ngastiti bhakti dari Pura Penyimpenan Bhatara Hyang Gnijaya, dengan membuat asagan/bale tempat haturan yang terbuat dari bambu seadanya sebagai wujud bakti pengayatan untuk Palinggih Telaga Sawang, bale pengayatan untuk Pura Penataran Lempuyang, bale pengayatan untuk Pura Pucak Bisbis.

           Jro Mangku Komang Putra mengharapkan kepada Pemerintah atau Kepala Daerah, agar membimbing dan mengawasi pelaksanaan penyebaran agama dan ibadah agar tidak menimbulkan perpecahan diantara sesama umatnya dan tidak disertai intimidasi, bujukan, paksaan, atau ancaman dalam segala bentuknya, yang bisa menimbulkan ketidak harmonisan diantara sesama umat Hindu yang ada di Bali yaitu dengan jalan meluruskan Sejarah Keberadaan Pura Lempuyang untuk generasi selanjutnya, sesuai dengan komitmen yang telah di dengung-dengungkan di media massa yaitu AJeg Bali?

1 komentar:

di banjar temesi, desa temesi, gianyar ada juga pura gaduh yang diempon oleh krama banjar temesi, apakah ada hubungan dengan pura gaduh di blahbatuh?

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More