Sabtu, 30 Oktober 2010

Memuja Tuhan Melalui Tari Wali Barong dan Rangda, Proses Pengembalian Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra

Lokasi : Desa Adat JIMBARAN

Lokasi : Desa Adat JIMBARAN


D. Memuja Tuhan Melalui Tari Wali Barong dan Rangda, Proses Pengembalian Panca Maha Bhuta dan Panca Tan Matra

           Disamping melalui fenomena kerauhan (animisme) tersebut diatas dalam penyampaian pesan dan kesan dari niskala (alam tak nyata), dan seseorang meyakini hal tersebut sebagai pembenar dalam pencaharian terhadap keberadaan-Nya. Juga, Tuhan mempunyai maksud dan tujuan tertentu untuk umatnya dalam memaknai kehidupan ini. Hasil cipta, karsa, dan rasa seseorang merefleksikan aspek dari kekuatan alam sekitarnya dan dikemas begitu rupa, menjadikannya sebuah pertunjukan yang sangat menarik, magis, dan mengesankan yang mengandung nilai filosofis yang sangat luas dan bermakna bagi kehidupan ini dan seseorang mengapresiasikan berbeda-beda. Yang pada akhirnya mereka harus tunduk juga pada kekuatan alam sekitarnya, misalnya; dalam pementasan tari wali Barong dan Rangda, terjadi atraksi kejar-kejaran antara rangda dengan puluhan pepatih (orang yang kerasukan kelompok bhuta) yang menghunus sebilah keris dengan otot-otot menyembul, seolah-olah keris dicengkram sangat kuat, rasanya sulit dilepaskan, dengan wajah yang mengekpresikan kemarahan yang luar biasa, sulit dikendalikan, mengejar rangda yang seorang diri tanpa senjata tajam, hanya dengan secarik kain putih tanpa gambar rerajahan (gambar mistis) menghadang puluhan pepatih, diakhiri jatuhnya penari keris satu persatu. Secara filosofis artinya terjadi pergolakan didunia ini, antara dunia nyata dengan dunia maya atau antara aspek air dengan aspek api.
           Aspek air adalah sumber kehidupan dan akan ada kehidupan, memunculkan sifat-sifat kebatilan, yang penuh keangkara-murkaan, kebuasan, kerakusan, keberutalan dan sifat keterikatan dunia nyata lainnya, yang dipakai simbol pemersatu adalah Barong. Kata barong berasal dari bahasa sanskerta yaitu dari kata Bhairawa (Zoetmulder, PJ. 1994:123), artinya menakutkan, mengerikan, penganut aliran bhairawa, bentuk Siwa yang mengerikan. Akibat pengaruh evolusi bahasa dari satu tempat ke tempat lain, kata bhairawa diucapkan berulang-ulang sesuai dengan bahasa setempat menjadi berawo // lafal huruf “O” diucapkan, ditegaskan tersirat mendapat konsonan “ng” diakhir ucapan menjadi brerong (raja hutan) // dari kata brerong diucapkan berulang-ulang sesuai dengan bahasa setempat menjadi Barong, dalam arti, isi dunia yang penuh mengerikan dan menakutkan yang dipenuhi sifat-sifat kebinatangan, seperti keangkaramurkaan, kebuasan, ketamakan, kedahsyatan, dan sifat kebatilan lainnya. Di daerah Mengwi terdapat sebuah pura yang namanya pura Dalem Brerong dan di daerah Jimbaran, Kuta Selatan, seseorang yang kerauhan menyebut diri ngayah Waduk Brerong, disamping kerauhan lain seperti tersebut diatas. Wujud Barong tidak lebih sebagai binatang mythology yang dikaitkan dengan wahana dari aspek manifestasi Tuhan.

           Dalam catatan tertulis salah satunya dalam Purana Pura Luhur Pucak Padang Dawa, Baturiti, Tabanan, terjemahan Ketut Sudarsana dalam Bahasa Indonesia:
Tersebutlah Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merangsuk Bhuddha Bhairawa, dengan merubah wujudnya menjadi Barong, karena pulau Bali ini tertimpa oleh mara bahaya yang ditimbulkan oleh kekuatan magis dari Kala Dhurga Kalika Joti Srana dan pada perjalanannya beliau menuju ke barat dan akhirnya beliau tiba di Pucak Padang Dawa, dan akhirnya beliau bertemu dengan Sanghyang Wulaka dengan perawakan hitam kemerah-merahan, rambutnya ikal agak merah, dengan mata mendelik bagaikan singa yang lapar serta bersenjatakan Pedang Dangastra, beliau itu merupakan sumber dari segala kesaktian, dan karena Bhatara Gede Sakti Ngawa Rat merubah wujud beliau menjadi Barong, maka mulai sejak itu rencang dari Bhatara yang berstana di Pura Luhur Pucak Padang Dawa berupa Barong Ket, Barong Landung, Barong Bangkal, serta merupakan Dewa Taksu kesenian, beliau juga merupakan dewanya para dukun seperti, Balian Engengan, Balian Ketakson, Balian Konteng, di Pulau Bali ini.
           Ada juga yang menganalogikan kalau Barong berasal dari kata Ba-ru-ang dalam Bahasa Indonesia huruf u dan a berasimilasi menjadi o, sehingga ru dan a (ng) menjadi ro (ng) yang berarti dua. “Rong” mengandung makna ruang, jadi dua rong yang dimaksud adalah dua ruang sebagai tempat penarinya. Dalam susastra Hindu tidak ditemukan beruang sebagai hewan suci yang dikeramatkan maupun sebagai “wahana” para dewa zaman dahulu. Maupun dari Tiongkok (Cina) dalam perbendaharaan bahasa tidak ada menyebutkan kata Barong Sae, yang ada adalah Liong Sae artinya tarian naga dan singa. Yang pada kenyataanya bahwa semua jenis pertunjukkan yang menggunakan Barong sama sekali tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dimaksud dengan perkataan Barong. Makanya wujud Barong dalam berbagai macam bentuk, seperti: barong macan (berupa macan), barong bangkal (berupa babi), barong memedi (berupa manusia berambut merah), barong singa (berupa singa), barong brutuk (berupa manusia raksasa badan daun pelepah pisang tua), barong landung (berupa nenek tua berkulit putih dan satu lagi orang hitam wajah seram), barong sae (tarian naga dan singa), barong kedingkling (berupa wayang orang), barong asu (berupa anjing), barong rentet/ket (berupa gabungan barong macan, singa, sapi), dengan perkataan lain seluruh roh binatang akan digambarkan menjadi Barong dengan berbagai macam wujud tersebut.
           Sedangkan aspek api adalah tidak ada kehidupan atau tak ada bentuk di dalam api, dalam arti, hidup penuh pantangan-pantangan, eksesnya, akan menimbulkan ketenangan, kesabaran, kebenaran dan tidak keterikatan dunia materi, Rangda simbol sifat ini. Kata Randa berasal dari bahasa sanskerta. Dalam pengucapan kata Randa, huruf ‘N’ tersirat diikuti konsonan ‘Ng’ diakhir pengucapan menjadi Rangda Secara etimologi kata Randa, berasal dari urat kata Ra dan anda. Ra singkatan dari Raditya artinya Matahari, api, panas. Anda adalah bola dunia, telur. Jadi arti Rangda adalah dunia api/bola api/panas Makanya suara tari Rangda bagaikan air ‘ngerodok’ (air panas yang lagi mendidih). Karena tubuh manusia sebagai mediator ke alam kosmis yang sebagian besar tergantung dengan air (kelompok bhuta), lalu dipinjam badan raganya oleh api (kelompok dewa), pertemuan antara air dan api menjadi mendidih (Bahasa Bali: ngerodok) dan menguap menyatu dengan udara, terus ke Akasa/Tuhan. Orang yang kerauhan Rangda pasti minta api lalu dikulum sebagai penyeimbang tubuhnya. Juga ornament atau simbol api banyak terdapat pada Rangda. Kata Rangda dalam kamus Jawa Kuna oleh Zoetmulder (1994:918) berarti: laki-laki yang wafat tanpa keturunan laki-laki, duda, janda tua dalam rumah tangga istana, penghianat, kata cacian untuk menyapa wanita, pohon randu. Dalam penggambaran seseorang roh manusia itu akan menjadi bermacam-macam wujud rangda, leak barak, leak poleng, gregek tunggek, lelendi dan lain-lain yang menyerupai manusia, bukan binatang dalam wujud Barong.
            Pengalaman seseorang habis kerauhan bhuta (penari keris) mengatakan, dengan kemarahan yang sulit dikendalikan, mengejar Rangda dan begitu berbalik menghadang penari keris, seolah-olah api menyambar dihadapannya, bagaikan disambar petir. Dalam kehidupan sehari-hari memaknainya dengan jalan pitra yadnya, resi yadnya padiksan, tapa brata yoga semadi, japa mantra nama-nama Tuhan, dan menjalani ajaran agama dengan taat, ikhlas, dan tepat.
           Sedangkan pepatih (penari keris) disimbolkan keterikatan nafsu indriawi, mengejar Rangda disimbolkan sebagai pembakar atau pelebur keterikatan duniawi sebelum menuju ke alam Siwa/Tuhan. Atau dengan perkataan lain binatang itu harus berinkarnasi menjadi manusia terlebih dahulu baru bisa menuju ke Tuhan. Makanya ada idiom di masyarakat yang mengatakan manusia itu dewa ya, bhuta ya. Adalah suatu konsep peleburan atau pengembalian unsur-unsur  panca tan matra (lima zat halus yang belum berukuran) yang menyatu dengan panca maha bhuta (lima materi pokok dunia) yang saling keterikatan dan lebur menyatu, mulai dari pertiwi (benda padat) kembali ke apah (benda cair), dari apah kembali ke teja (benda panas), dari teja kembali ke vayu (udara, angin), dan dari vayu kembali ke akasa (suara, bunyi, sabda Tuhan) dan kebalikkan dari akasa, vayu, teja, apah, pertiwi, adalah proses penciptaan Tuhan (Donder, 2007:137)        
           Makna penari keris (kerauhan bhuta) menusuk dirinya sebagai simbol “bunuhlah”sifat keterikatan yang ada dalam diri kita, dalam proses pencaharian jati diri terhadap Tuhan/Hyang Widhi. Dengan pemuasan jasmani akan terjadi ketergantungan antara jiwa yang satu dengan jiwa yang lain, dan saling tarik menarik, mengakibatkan karma/dosa, akhirnya terjadi reinkarnasi/kelahiran berulang-ulang, ibarat air akan selalu mengalir kebawah karena ditarik oleh beratnya dosa-dosa yang dilakukan dimasa kehidupan yang lalu. Sedangkan dengan pengekangan indria hawa nafsu, lepas dari keterikatan duniawi, tubuh akan semakin ringan, ibarat api akan selalu naik ke atas menyatu dengan Tuhan/Hyang Widhi Bawa, I Made (dalam Skripsi 2009:31).

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More